Review Legend of Zelda: Tears of the Kingdom – Di Balik Pujian, Ada Rasa ‘Kurang’ yang Tak Terbantahkan!

Kalau baca review Tears of the Kingdom di media besar, semua seragam bilang: “Masterpiece! Game terbaik sepanjang masa!”. Tapi setelah 50 jam menjelajah Hyrule versi sky, land, dan depths, jujur saya ingin berteriak: “Lho, kok gak segitunya sih?”

Bukan berarti game ini buruk—justru ia tetap jadi salah satu game terbaik 2023. Tapi di balik puja-puji overhype, ada beberapa “jahitan kasar” yang bikin pengalaman bermain terasa… kurang nendang.


Yang Bikin Nagih: Eksplorasi Tetap Jadi Raja

Harus diakui, dunia Hyrule di sini bikin klepek-klepek. Dari pulau langit misterius sampai gua bawah tanah yang gelap gulita, rasa penasaran terus dipacu. Sistem Ultrahand untuk menyambung benda-benda ngangenin—siapa sangka bikin jembatan dari batang pohon dan kipas angin bisa seranjang ini?

Tapi di sisi lain, Nintendo kayak kehabisan ide buat ngisi dunia seluas ini. Banyak shrine yang teka-tekinya mirip BOTW, soko guru Korok yang makin sadis (bayangin disuruh ngejar biji Korok yang lari kayak Usain Bolt!), dan side quest berulang ala “bawakan 10 buah durian”. Been there, done that.


Mekanik Baru: Inovasi atau Sekadar Gimmick?

Sistem fusi senjata itu konsep keren—siapa yang gak seneng pasang rocket di perisai? Tapi setelah 10 jam, rasa-rasanya kreativitas malah dibatasi. Mayoritas kombinasi senjata cuma buat nambah damage, bukan benar-benar mengubah strategi.

Belum lagi vehicle building pakai Zonai Device yang… frustrating. Kontrol kendaraan nyebelin kayak nyetir mobil remote control di lantai licin. Alih-alih seru, malah bikin ngatain Joy-Con habis-habisan!


Masalah Teknis: Switch Udah Keok?

Di area padat seperti Hateno Village, frame rate drop sampai 20fps itu biasa. Saat perang melawan Gleeok naga tiga kepala, game-nya lag kayak mau crash. Mirip kayak nonton Avengers: Endgame tapi sound system-nya rusak—epik tapi ganggu banget!


Cerita: Antara Air Mata dan Tanda Tanya

Nintendo berhasil bikin kita nangis bombay lewat kisah Ratu Zelda. Tapi alur utama terasa tergesa-gesa di akhir, seolah tim dev kebelet masuk credit roll. Karakter baru seperti Mineru flat kayak kardus—beda jauh dengan daya tarik Prince Sidon di BOTW.


Verdict: Bagus? Iya. Sempurna? Jangan lebay!

Tears of the Kingdom itu kayak nasi goreng spesial: enak, tapi kurang sambal. Buat yang belum main BOTW, ini tetap game wajib. Tapi buat yang berharap revolusi? Siap-siap kecewa.

Nintendo membuktikan mereka masih jagonya open-world, tapi batasan hardware Switch dan desain konservatif bikin game ini terasa seperti DLC mahal—bukan sekuel yang benar-benar mind-blowing.

P.S: Tetap mainin kalau mau lihat Link skydiving sambil nunggang kuda terbuka. Tapi jangan kaget kalau di tengah jalan, kamu malah kangen sama kesederhanaan Breath of the Wild!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *